Info Liputan, | JAKARTA– Lupakan menulis karya sastra apa pun dengan teknologi kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence). Secara semiotik cacat dan rendah.
AI itu kecerdasan buatan, sedangkan kecerdasan asli diabaikan.
” Ini saja sudah melanggar akal sehat atau logika,” ujar Narudin Pituin, Sastrawan dan Kritikus Sastra dalam wawancara khusus di Jakarta, Rabu malam (5/2/2025).
“Menulis puisi dengan teknologi kecerdasan buatan ( AI ) bagi saya ‘haram’.Sebab tak ada penyair besar yang menulis puisi dengan AI,” tegasnya.
Dikatakannya lagi kita orang berakal sehat tentu tak menolak teknologi, tetapi menulis puisi atau karya seni lainnya ‘haram’ dengan AI.
“Justru membuktikan tanpa AI puisi-puisi penyair besar tercipta, ” kata Narudin Pituin yang juga dikenal sebagai ahli semiotika.
Lalu bagaimana dengan karya sastra berupa sajak, puisi, cerpen, atau novel ketika dipublish di media cetak atau online gunakan foto dan ilustrasi lukisan menggunakan teknologi AI.
” Sebaiknya ilustrasi lukisan tangan asli. Punya yang asli, kok, memilih yang palsu,” jawabnya.
Menjawab pertanyaan terakhir tentang “masa depan” teknologi kecerdasan buatan yang dikaitkan dengan proses kreatif menulis karya sastra oleh generasi Z atau gen Alpha ?
“Secara semiotik, AI ini indeks teknologi baru yang berdampak pada pengaruh ingin mencoba. Di masa depan baik Gen Alpha maupun Gen Z akan mencoba AI untuk menulis karya sastra (terutama puisi). Namun, itu hanya akan dilakukan oleh Gen Alpha dan Gen Z yang bukan penulis serius, hanya penulis sekadar, yang dapat disebut “penulis naluri” alias penulis dengan dorongan nafsu binatang belaka, bukan atas nama intelektualitas tinggi atau pertimbangan akal sehat,” pungkasnya.
Penghargaan Internasional
Narudin Pituin dikenal sebagai sastrawan, penerjemah, dan kritikus sastra.
Karya sastra, terjemahan, esai dan kritik sastranya telah dimuat di _Kompas, Tempo, Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Majalah Basis,_ dan banyak lagi di dalam dan luar negeri.
Buku puisinya berjudul _Di Atas Tirai-tirai Berlompatan_ (2017) menjadi pemenang Anugerah Puisi CSH 2018 dan dua buku puisi terjemahan bahasa Inggrisnya mendapat penghargaan tingkat internasional.
Buku-buku terbarunya berjudul _Sintesemiotik: Teori dan Praktik_ (2023), Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia: Kumpulan Esai dan Kritik Sastra_ (2023), _Sang Nabi Al-Muqaffi_ (novel, 2022) , dan _Kuntilanak Monru_ (kumpulan cerpen, 2024).
Juga ia berpengalaman mengajar di beberapa universitas dan sekolah internasional.
Lasman Simanjuntak