Pringsewu, Info Liputan – Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi isu krusial di Kabupaten Pringsewu. Menyadari hal ini, Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (KOPRI) PMII Pringsewu menggelar sarasehan advokasi dengan tema “Anti Toxic Vibe, Lawan Kekerasan Sebar Cinta dan Bersuara” pada tanggal 4 Oktober 2025, di Sekretariat PMII Pringsewu. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, serta merumuskan rekomendasi kebijakan dan aksi nyata berbasis komunitas.
Sarasehan ini dihadiri oleh anggota dan kader PMII Pringsewu yang memiliki perhatian terhadap isu-isu perempuan dan anak. Ketua KOPRI PC PMII Pringsewu, Siti Hajarotul Aini, S.Pd, membuka acara dengan menekankan pentingnya kepedulian dan kepekaan terhadap masalah kekerasan yang terjadi di Kabupaten Pringsewu. Beliau berharap acara ini dapat menjadi wadah untuk meningkatkan kesadaran dan semangat masyarakat untuk peduli serta berani melaporkan kasus kekerasan.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2A) semester pertama tahun 2025 mencatat 12 kasus kekerasan dengan 13 korban. Namun, aktivis pemerhati perlindungan perempuan dan anak dari Perkumpulan Damar Lampung, Desi Dwiningsih S.Kom, mengungkapkan bahwa angka sebenarnya jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Hal ini menjadi perhatian serius dan mendesak untuk segera ditangani.
Dalam sarasehan tersebut, dibahas berbagai bentuk kekerasan yang sering terjadi, seperti kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan pacaran, dan bahkan incest. Peserta juga diberikan pemahaman mengenai regulasi yang berlaku untuk pelaporan kasus kekerasan, antara lain Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Salah satu diskusi menarik muncul dari pertanyaan Elsa Syafitri terkait kasus pencabulan anak oleh waria di Pesawaran. Pemateri menjelaskan bahwa anak tersebut adalah korban kekerasan seksual dan pencabulan, serta pelaku pembunuhan. Hal ini menekankan bahwa kekerasan terhadap anak dapat berakibat fatal dan merusak akal sehatnya.
Sebagai solusi, Desi Dwiningsih menyarankan pembentukan forum-forum edukasi dan diskusi tentang kekerasan berbasis gender. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan memberikan perlindungan kepada korban kekerasan. Dengan demikian, masyarakat dapat berani bersuara dan merasa terlindungi oleh hukum, serta korban tidak merasa menjadi aib yang harus menyiksa diri dengan trauma berkepanjangan. Sarasehan ini diharapkan menjadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi perempuan dan anak di Pringsewu. (Red)